Rabu, 02 November 2011

Faham Qadariyah


BAB I
PENDAHULUAN
Persoalan iman (aqidah) agaknya merupakan aspek utama dalam ajaran Islam yang didakwahkan oleh nabi Muhammad. Pentingnya masalah aqidah ini dalam ajaran Islam tampak jelas pada misi pertama dakwah nabi ketika berada di mekkah. Periode mekkah ini persoalan aqidah memperoleh perhatian yang cukup kuat dibanding persoalan syari'at, sehingga tema sentral dari ayat-ayat Al-Qur'an yang turun selama periode ini adalah ayat-ayat yang menyerukan kepada masalah keimanan.
Bicara tentang masalah aliran pemikiran Islam berarti berbicara tentang ilmu kalam. Kalam secara harfiyah berarti kata-kata. Kaum teolog Islam berdebat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai mutakallimin yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu kalam juga diartikan sebagai teologi Islam atau ushuludin, ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari agama. Mempelajari teologi akan memberi seorang keyakinan yang mendasar dan tidak mudah digoyahkan. Munculnya perbedaan antara ummat Islam. Perbedaan yang pertama muncul dalam Islam bukanlah masalah teologi melainkan di bidang politik. Akan tetapi perselisihan politik ini seiring dengan perjalanan waktu, meningkat menjadi persoalan teologi.
Pebedaan teologis dikalangan ummat Islam sejak awal memang dapat mengemukan dalam bentuk praktis maupun teoritis, secara teoritis perbedaan itu demikian tampak melalui perdebatan aliran-aliran kalam yang  muncul tentang berbagai persoalan. Tetapi patut dicatat bahwa perbedaan yang ada umumnya masih sebatas pada aspek filosofis diluar persoalan keesaan Allah, keimanan kepada para rasul, para malaikat, hari akhir dan berbagai ajaran nabi yang tidak mungkin lagi ada peluang untuk memperdebatkannya. Misalnya tentang kekuasaan Allah dan kehendak manusia, kedudukan wahyu dan akal, keadilan tuhan, perbedaan itu kemudian memunculkan berbagai macam aliran, yaitu mu'tazilah,  syi'ah, khawarij, Jabariyah dan Qadariyah serta aliran-aliran lainnya.
















BAB II
AKIBAT YANG TIMBUL SERTA ANTISIPASI DAN ALTERNATIF MENGATASI MASUK DAN BERKEMBANGNYA QADARIYAH
Dalam paham Jabariyah, berkaitan dengan perbuatannya, manusia digambarkan bagai kapas yang melayang di udara yang tidak memiliki sedikitpun daya untuk menentukan gerakannya yang ditentukan dan digerakkan oleh arus angin. Sedang yang berpaham Qadariyah akan menjawab, bahwa perbuatan manusia ditentukan dan dikerjakan oleh manusia, bukan allah. Dalam paham Qadariyah, berkaitan dengan perbuatannya manusia digambarkan sebagai berkuasa penuh untuk menentukan dan mengerjakan perbuatannya.
Peda perkembangannya selanjutnya paham Jabariyah disebut juga juga sebagai paham tradisional dan konserfatif dalam Islam dan paham Qadariyah disebut sebagai paham rasional dan liberal dalam Islam. Kedua paham teologi Islam tersebut melandaskan diri diatas dalil-dalil naqli (agama) sesuai pemahaman masing-masing atas nash-nash agama (al-qur'an dan hadist) dan aqli (argument fikiran). Di negeri-negeri kaum muslimin seperti indonesia yang dominan adalah paham Jabariyah. Orang muslim yang berpaham Qadariyah merupakan kalangan yang terbatas atau hanya sedikit dari mereka.[1]
Kedua paham itu dapat dicermati pada suatu peristiwa yang menimpa dan berkaitan dengan perbuatan manusia misalnya kecelakaan pesawat terbang. Bagi yang berpaham Jabariyah biasanya dengan enteng mengatakan bahwa kecelakaan itu sudah kehendak dan perbuatan allah. Sedang yang berpaham Qadariyah condong mencari tahu dimana letak peran manusia pada kecelakaan itu. Kedua paham teologi Islam tersebut membawa efek masing-masing. Pada paham Jabariyah semangat melakukan investigasi sangat kecil, karena semua peristiwa dipandang sudah kehendak dan dilakukan oleh allah. Sedang pada paham Qadariyah semangat investigasi amat besar kaena semua peristiwa yang berkaitan dengan perbuatan manusia harus dipertanggungjawabkan oleh manusia melalui investgasi.
Dengan demikian dalam paham Qadariyah selain manusia dinyatakan sebagai makhluk yang merdeka, juga adalah makhluk yang harus bertanggungjawab atas perbuatannya. Posisi manusia demikian tidak terdapat didalam paham Jabariyah, akibat dari perbedaan sikap dan posisi itu ilmu pengetahuan pasti berkembang didalam paham Qadariyah ketimabang Jabariyah. Dalam hal musibah gempa dan tsunami baru-baru ini, karena menyikapinya sebagai kehendak dan perbuatan Allah, bagi yang paham Jabariyah sudah cukup bila tindakan membantu korban dan memetik hikamt sudah dilakukan.
Sedang hikmat yang dimaksud hanya berupa pengakuan dosa-dosa dan hidup selanjutnya tanpa mengulangi dosa-dosa. Sedang bagi yang berpaham Qadariyah meski gempa dan tsunami tidak secara langsung menunjuk perbuatan manusia, namun mengajukan pertanyaan yang harus dijawab: adakah andil manusia didalam mengganggu ekosistem kehidupan yang menyebabkan alam marah dalam bentuk gempa dan tsunami? Untuk itu paham Qadariyah membenarkan suatu investigasi (pencaritahuan) misalnya dengan memotret lewat satelit yang dilanda musibah.
Perlu diperhatikan bahwa disini kami menggunakan istilah Qadariyah untuk orang-orang yang mendukung aliran kebebasan kehendak manusia demi mengikuti istilah yang dikenal dikalangan para ahli teologi Islam seperti yang pada ghalibnya dimaksudkan dalam kebanyakan riwayat. Padahal kata Qadariyah ini kadang-kadang juga digunakan oleh sebagian ahli ilmu kalam dan pada sebagian riwayat guna menunjuk kepada kaum Jabariyah yang tidak mengakui kebebasan kehendak manusia.
Dalam kenyataannya mereka semua baik yang mendukung teori Jabariyah yang menyatakan adanya kekuasaan takdir umum, ataupun orang yang mendukung teori kebebasan manusia dan penafian peran takdir dalam perbuatan manusia; mengindarkan diri dari sebutan Qadariyah ini seraya menjuluki kelompok yang mulia saw, yang menyebutkan: kaum Qadariyah adalah majusinya umat ini karena itu kaum Jabariyah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kaum Qadariyah ialah orang yang menginkari qadar ilahi, sementara lawan mereka berkata bahwa kaum Qadariyah ialah orang yang mengembalikan segala sesuatu harta perbuatan manusia kepada qadha dan qadar.
Penyebab lebih dikenalkanya sebutan Qadariyah para pengingkar takdir ialah:
1.      Tersebar luasnya madzhab asy'ariyah sehingga menjadikan kaum mu'tazilah sebagai minoritas dihadapan kaum ast'ariyah yang mayoritas.
2.      Tuduhan adanya kesamaan antara kaum Qadariyah dengan penganut agama majusi, sebab yang diketahui bahwa kaum majusi membatasi takdir ilahi hanya pada apa yang mereka namakan kebaikan saja, sedangkan kejahatan berada diluar takdir ilahi, dan bahwa pelakunya adalah wujud setan pertama yang mereka namakan ahriman.[2]

A.                Kontradiksi yang dituduhkan
Telah kami katakana sebelum ini bahwa kebanyakan para ahli tafsir dan ilmu kalam berpendapat bahwa ayat Al-Qur'an dalam masalah ini saling bertentangan. Oleh sebab itu mereka berlindung dibalik penakwilan sebagiannya agar besesuaiyan dengan sebagian yang lain.
Berkenaan dengan itu bahwa peterntangan dalam suatu dapat dibagi menjadi dua jenis
Pertama; adanya ucapan yang menafikan ucapan lainnya dengan cara yang jelas, gamlang dan sepenuhnya tepat. Misalnya dalam ucapan "Rasulallah wafat pada bulan safar", dan Rasulallah tidak wafat pada bulan safar. Dalam contoh ini jelas bahwa ungkapan yang kedua menafikan yang pertama dengan sejelas-jelasnya.
Kedua; kalimat kedua tidak menafikan yang pertama secara jelas dan gamblang, akan tetapi pembenaran kalimat yang kedua berarti batalnya yang pertama, seperti dalam contoh berikut: Rasulallah saw wafat pada bulan safar dan Rasulallah saw wafat pada bulan Rabiul awal.
Akan tetapi para ahli ilmu kalam mengira bahwa konsekuensi ungkapan segala sesuatu telah ditakdirkan oleh takdir ilahi ialah bahwa manusia bersifat majbur (terpaksa) dalam segala prilakuknya. Dengan demikian mustahil kita dapat menggabungkan kebebasan kehendak dengan takdir yang telah mendahului. Takdir harus terlaksana tanpa adanya ikhtiyar jika tidak demikian maka ilmu Allah berbalik menjadi ketidaktahuan. Demikian pula sebaliknya adanya kemampuan manusia untuk memberikan pengaruh dalam kebahagiaan atau kesengsaraan dirinya berarti keharusan tidak adanya takdir yang mendahului.
Dengan cara seperti ini terbentuklah berbagai macam penakwilan dalam buku-buku para ahli ilmu kalam dan tafsir.[3]

B.                 Keuntungan-keuntungan politis
Sejarah menunjukkan dengan pasti kepada kita bahwa bani Umayyah telah mangalihkan persoalan qadha dan qadar menjadi suatu pegangan yang amat kokoh setelah mendukungnya dengan segala daya dan kekuatan, sambil menumpas habis-habisan semua pendukung aliran kebebasan manusia, dengan dalih bahwa itu  merupakan kepercayaan yang berlawanan dengan akidah Islam. Sehingga disuatu saat tersiar secara luas pameo yang menyatakan bahwa jabr dan tasybih adalah dua pikiran yang berasal dari bani Umayyah, sedangkan 'adl dan tauhid dua pikiran yang berasal dari Alawiyin (pengikut Abi Thalib)[4]
Orang yang paling dahulu melontarkan masalah ikhtiyar manusia ketengah-tengah masyarakat untuk dibahas, seraya mempertahankan akidah tentang kebebasan ini di masa kekuasaan bani Umayyah ialah seoarng dari Irak bernama Ma'bad al-Juhani dan seoarang lagi dari Syam bernama Ghilan Ad-damasyqi. Kedua orang ini dikenal dengan sifat istiqamah, ketulusan dan keimanan yang kuat. Ma'bad ikut dalam pemberontakan bersama Ibnul Asy'ats dan kemudian dibunuh oleh al-Hajjaj (seorang pejabat bani Umayyah) sedangkan Ghilan setelah pahamnya itu sampai ke pendengaran Hisyam bin Abdul Malik, segera dijatuhi hukuman kejam potong kedua tangan dan kaki kemudian disalib.
Syibli Nu'man menyebutkan bahwa kendati situasi dan kondisi masa itu memang mendorong kearah timbulnya berbagai pertentangan dalam soal-soal akidah, namun semuanya itu bermula dari suatu yang bersifat politis dan berdasarkan kepentingan pemerintah, sebab sehubungan dengan sifat pemerintah bani Umayyah yang menjalankan kekuasannya dengan besi dan api wajarlah jika api revolusi bergejolak dalam dada rakyat akan tetapi, secepat keluarnya keluhan tentang keadaan, secepat itu pula para penguasa mengalihkan kepada takdir, dan bahwa yang terjadi itu telah dirakdirkan dan diridhai oleh Allah; dan arena itu tidak ada yang dapat dibenarkan kecuali ucapan kemi beriman kepada takdir, baiknya maupun buruknya Ma'bad al-Juhani yang dikenal sebagai seorang tabi'i yang tulus, pernah bertanya kepada gurunya Hasan al-Bisyri: sejauh mana kebenaran ucapan kaum Umawiyyin mengenai persoalan qadha dan qadar? Hasan Bisyri menjawab "mereka itu adalah para pendusta dan musuh Allah".
C.                 Kritik barat terhadap Islam
Penyimpangan yang terjadi dalam masalah ini telah memberikan argumentasi pada kaum Kristen barat untuk menyatakan bahwa akidah qadha dan qadar adalah sebab utama kemunduran muslimin dan berkenaan dengan itu mereka menyindir Islam sebagai agama yang percaya pada paham jabr dan mencabut segala bentuk kebebasan dari manusia.[5]
Sayyid Jamaluddin melihat orang barat yang menisbahkan segala macam keburukan pada kaum muslimin beranggapan bahwa semua kejelekan dan kejahatan adalah akibat kepercayaan tentang qadha dan qadar seraya menandaskan bahwa jika kaum muslimin masih tetap berpegang teguh pada akidah ini maka eksistensi mereka akan hilang dan menuju kearah kemusnahan. Berkeanaan dengan ini Sayyid Jamaluddin menegaskan bahwa mereka tidak membedakan antara akidah qadha dan qadar dengan mazhab Jabariyah yang mengatakan bahwa manusia majbur secara mutlak dalam semua perbuatan dan tindakannya.[6]

D.                Kompleks intelektual
Diantara hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa pembahasan tentang qadha dan qadar serta jabr dan ikhtiyar ini tidak hanya berdasarkan alasan social semata, sebab segala yang lain masalah ini telah merupakan suatu kemusykilan ilmiyah dan filosofis yang seringkali terbesit dalam bentuk seorang pemikir dan pendorongnya agar menjadi pemecahnya.

E.                 Materialisme dan takdir
Para materialism pun dihadapkan pada problem ini meski dengan sedikit perbedaan yaitu sesuai dengan system kausal atau hukum sebab akibat dari suatu sebab atau berbagai sebab. Dipihak lain adanya akibat dengan memperkirakan adanya penyebabnya merupakan suatu yang penuh bersifat dharuri (tidak boleh tidak).[7]
Karena para penganut materialisme menerima juga meteri kausal atau prinsip sebab akbat umum dan dharuri, dan menjadikan salah satu pokok utama filsafat mereka. Maka merekapun dihadapkan kepada pertanyaan sekitar keterikatan perbuatan manusia pada hukum ini serta kemustahilan pengecualian suatu dari padanya. Dengan kata lain semua perbuatan manusia tercakup dalam hukum yang diterima tanpa ragu, secara pasti dan determinitis.
Oleh sebab itu kita mendapati masalah jabr dan ikhtiyar ini diletakkan dihadapan semua aliran filsafat, lama maupun yang bersifat teologis maupun materialistis.

F.                  Tanzih dan tauhid
Kemusyrikan ini muncul dikalangan para ahli teologi dan ilmu kalam ketika mereka mengamati hukum sebab akibat serta bermuaranya semua kejadian dan kemungkinan pada zat (Allah) yang wajibatul wujud dan mustahilnya terwujud sesuatu kejadian tanpa bersandar kepada iradat Allah swt.[8] dengan kata lain mereka mengarah kepada ketauhitan segala perbuatan dan kemustahilan adanya sekutu bagi Allah dalam pemilikan wujud semesta ini. Ditinjau dari sisi lain, mereka pun menujukkan perhatian kearah suatu yang oleh awam pun dapat diserap dan diketahui, yaitu bahwa segala kejahatan, kekejian dan dosa tidak mungkin atau tidak patut dinisbatkan kepada Allah. Karena itu mereka menjadi bingung dan terombang-ambing antara tanzih (menyucikan dari segala sesuatu yang tidak layak bagi Allah) dan tauhid. Sebagian dari mereka berfikir dalam lingkup tanzih, bahwa iradat Allah dan kehendaknya tidak dapat dikatikan dengan perbuatan dan tindakan para hamba yang kadang-kadang bersifat jahat dan keji, sedangkan sebagian yang lain berfikir dalam lingkup tauhid dan dalam pengertian tidak ada sesuatu yang memberikan perngaruh atas wujud kecuali Allah, bahwa segala sesuatu pasti bersandar kepada iradat Allah.
Bagi sebagian orang tidaklah dapat diterima oleh akal bahwa segala sesuatu perbuatan kejahatan dinisbahkan kepada Allah oleh sebab itu mereka menjauhkan dan menyucikan dari kejahatan seperti itu, sementara orang lain yang lebih menekan soal ketauhidan memandang alam ini seluruhnya tegak oleh sebab zat ilahi, dan bahwa seluruh maujud yang mandiri dalam perbuatannya sehingga seandainya Allah menghendaki sesuatu yang berlawanan dengan makhluk Allah maka yang terjadi adalah yang dikehendaki oleh si makhluk, bertentangan yang dikehendaki Allah. Dari sinilah timbul pertentangan dan perbedaan pendapat itu.
Akan tetapi dapatlah disimpulkan masing-masing kelompok beruasaha menguatkan dan menenangkan pendapatnya dengan cara membuat keraguan terhada aqidah kelompok lainnya, tanpa memperhatikan kemusykilan yang berhubungan dengan akidahnya sendiri. Hal ini dapat diketahui secara jelah dengan menelaah buku-buku mengenai ilmu kalam.

















BAB III ANALISIS
 Tidak ada sesuatu yang lebih mengganggu dan menyakitakan jiwa seseorang daripada perasaan bahwa ia hidup di bawah bayang-bayang sebuah kekuasaan absolute yang amat kuat dan mencekram segala sesuatu dalam kehidupannya serta mengarahkannya kemana saja sesuai dengan kehendaknya, karena seperti dikatakan orang, kemerdekaan adalah nikmat yang palng mahal harganya, sedangkan perasaan terjajah adalah rasa sakit yang paling memedihkan. Dengan begitu manusia merasa dirinya terinjak-injak dan kehendaknya tercabik-cabik oleh kekuatan absolute yang menjajahnya itu. Tak ubahnya seperti seekor domba yang ditarik oleh sang pengembala yang menguasai tidur, makan, hidup dan matinya. Hal ini akan menimbulkan perasaan bagai bara api yang menyala-nyala dalam lubuk hatinya serta rasa askit tak terhingga, menyerupai penderitaan seorang yang menyerah pasrah dalam cengkraman seekor singa yang garang dan buas, setelah menyadari bahwa tidak ada lagi jalan keselamatan baginya dari cengkraman kuat yang sepenuhnya mengendalikan dirinya itu.
Demikianlah awal mulanya lahir pertanyaan yang membingungkan ini di benak setiap manusia termasuk yang memilki daya pencerapan yang paling minimum sekalipun. Benarkan segala peristiwa alam ini berjalan sesuai dengan perencanaan yang ketat, yang telah diariskan jauh sebelum terjadinya, tanpa adanya kemungkinan kegagalan atau pengecualian? Maujudkah kekuatan mutlak tersembunyi yang disebut qadha dan qadar, yang menguasai sepenuhnya segala peristiwa yang terjadi, termasuk manusia. Ataukah hanya berlawanan sama sekali dengan itu, yakni tidak ada sesuatu yang dapat diartikan sebagai pengaruh menentukan masa lalu atas masa sekarang dan masa depan sehingga manusia sebenarnya memiliki kebebasan yang sempurna dalam membentuk segala gerak lakunya dan menentukan nasibnya? Ataukah ada kemungkinan ketiga diantara kemungkinan tadi yang menggabungkan kepercayaan kepada takdir sebagai kekuatan mutlak yang berkuasa atas segenap wujud alam semesta tanpa kecuali, dengan kepercayaan akan wijud alam semesta tanpa keccuali dengan keercayaan akan kebebasan manusia dalam segala tindakannya dan jika demikian itu adanya bagaimanakah dapat dijelaskan?.
Masalah qadha dan qadar termasuk diantara masalah filosofis yang amat pelik sejak abad pertama hijriyah telah terjadi bahan pembahasan dikalangan para pemikir muslim disebabkan alasan-alasan yang kami sebutkan kemudian berbagai aliran pemikiran yang dikemukakan dibidang ini besar sekali peranannya dalam tercetusnya pertikaian serta timbulnya kelompok diseluruh dunia Islam yang selanjutnya menimbulkan dampak yang amat menakjubkan di sepanjang jangka waktu 14 abad lamanya.








BAB IV
KESIMPULAN
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih merupakan sebuah perdebatan. Akan tetapi menurut Ahmad Amin ada sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh ma'bad al-jauhani dan ghailan ad-dimsyiqi sekitar tahun 70 H/ 689H.
Ibnu natabah menjelaskan dalam kitabnya sebagaimana dikemukakan oleh Ahmad Amin aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh orang Irak yang pada mulanya beragama Kristen kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke Kristen. Namanya adalah Susan, demikian juga pendapat Muhammad  Ibnu Syu'ib. Sementara w. Montgomery watt menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat dalam kitab Ar-Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan Al-Basri sekitar tahun 700M.
Ditinjau dari segi politik kehadiran madzhab Qadariyah sebagai isyarat menetang politik Bani Umayyah, karena itu kehadiran Qadariyah dalam wilayah kekuasaan selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah dapat dikatakan lenyap tapi hanya sementara saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyah itu tertampung dalam Mu'tazilah
Sebagai kesimpulan dalam makalah ini kedua aliran baik Qadariyah ataupun Jabariyah nampaknya memperlihatkan paham yang saling bertentangan sekalipun mereka sama-sama berpegang pada Al-Qur'an. Hal ini menunjukkan betapa terbukanya kemungkinan pebedaan pendapat dalam Islam
DAFTAR PUSTAKA
          Abdullah bin al-junaid. Perbandingan antara Jabariyah dan Qadariyah
Capita selekta aliran-aliran sempalan di Indonesia.
Cuplikan Dari Catatan Harian Sayyid Shadr Wasiqi. Sekitar Sayyid Jamaluddin. Dengan Mengutip Sebuah Tulisannnya Tentang Qadha Dan Qadar, Maktabah, Teheran . Hal 4535
M. Sufyan Raji Abdullah. Mengenal Aliran-aliran Dalam Islam dan Ciri-Ciri Ajarannya. Pustaka Riyadl. Jakarta. 2007.
Nashir Bin Abd Karim Al-Aql. Dirasat fil ahwaa' wal firaq wal bida' wa mauqifus salaf minha
Wakaf  Pelayan Dua Tanah Suci Raja Fahd Bin Abdul Aziz Al Su'ud. Al-Qur'an dan Terjemahnya. Saudi Arabia. 1418 H.
Kitab Tafsir Karangan Ar-Razie Dan Zamakhsyari (Al-Kasyaf)
Hartono Ahmad Jaiz, Dibawah Bayang-Bayang Soekarno-Soeharto













PENUTUP
Alhamdulillahirabbil alamin
Telah selesailah makalah yang kami buat ini, makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka oleh karena itu kami mengharapkan kepada para Mahasiswa dan Dosen pengampuh Mata Kuliah ini untuk agar dapat memberi kritik dan saran terhadap makalah yang kami buat ini.
Semoga makalah yang kami buat ini dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi kami dan umumnya bagi para Mahasiswa amiin
Billahi taufiq wal hidayah
Wassalmu alaikum Wr. Wb




METRO FEBRUARI 2010

PENULIS



[1] M. Sufyan Raji Abdullah. Mengenal Aliran-aliran Dalam Islam dan Ciri-Ciri Ajarannya. Pustaka Riyadl. Jakarta. 2007 hal 324.

[2] Capita selekta aliran-aliran sempalan di Indonesia.

[3] Kitab Tafsir Karangan Ar-Razie Dan Zamakhsyari (Al-Kasyaf)

[4] Nashir Bin Abd Karim Al-Aql. Dirasat fil ahwaa' wal firaq wal bida' wa mauqifus salaf minha
[5] Hartono Ahmad Jaiz, Dibawah Bayang-Bayang Soekarno-Soeharto

[6] Cuplikan Dari Catatan Harian Sayyid Shadr Wasiqi. Sekitar Sayyid Jamaluddin. Dengan Mengutip Sebuah Tulisannnya Tentang Qadha Dan Qadar, Maktabah, Teheran . Hal 4535
[7] ibid.
[8] Abdullah bin al-junaid. Perbandingan antara Jabariyah dan Qadariyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar