Rabu, 02 November 2011


A.                AL-QUR'AN SURAT AL-BAQARAH AYAT 223

 öNä.ät!$|¡ÎS Ó^öym öNä3©9 (#qè?ù'sù öNä3rOöym 4¯Tr& ÷Läê÷¥Ï© ( (#qãBÏds%ur ö/ä3Å¡àÿRL{ 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur Nà6¯Rr& çnqà)»n=B 3 ̍Ïe±o0ur šúüÏZÏB÷sßJø9$#
Artinya
Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman. (QS Al-baqarah 223)[1]
Kata harsa ^öym berarti kebun ladang tempat bertanam. Perempuan itu diumpamakan seperti kebun tempat menanam keturunan. Sebab itu kata "harsa" hanya tertentu kepada faraj perempuan, karena disanalah tempat menanam keturunan itu. Dalam hal ini Allah memerintahkan supaya kamu mendatangai tempat itu betapa kamu sukai dan betapa kamu kehendaki dengan cara bagaimana saja. Apakah dari muka, dari belakang, terlentang dan sebagainya, menurut keinginan nafsumu. Perkataan "anna" dalam syair ayat ini lebih luas artinya dari pada "aina" (kemana-dimana) "kaifa" (bagaimana) dan  "mata" (apabila). Sibawaihi seorang ahli bahasa yang terkenal mengartikan "anna" itu dengan makna betapa atau bagaimana saja.[2]
Sesungguhnya telah sepakat sebagian ulama, sahabat, tabiin imam-imam dan sekalian fuqaha menerangkan bahwa mendatangi perempuan pada duburnya adalah haram dan dinamakan liwath.
Telah meriwayatkan Al-Qurthubi dalam tafsirnya, bahwa menurut yang telah diriwayatkan dari Said bin Musyayyab, Ibnu Umar, Muhammad Ka'ab Quruzi, dan Abd Malik Majisun, boleh yang demikian itu berarti boleh meliwath istrinya. Ibnu Arabi menyatakan bahwa Ibnu Sya'ban telah menyandarkan pendapatnya kepada orang-orang yang membolehkan pekerjaan demikian kepada segolongan besar dan tabiin, begitu juga demikian juga dengan riwayat yang da'if, bahwa hakim, Daruqhutni dan khatib Baghdadi telah meriwayatkan dari malik yang mengatakan bolehnya, berkata abu bakar, menurut riwayat yang masyhur dari Malik, membolehkan yang demikian.
Akan tetapi sekalian sahabatnya telah menolak semua keterangan itu; karena mereka tidak merasa yakin, bahwa malik akan membolehkan pekerjaan yang demikian mesum dan keji. Telah meriwayatkan Thahawi dari Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakim, bahwa dia mendengar Syafi'i berkata, tidak ada didapat satu riwayat yang shahih dari nabi Muhammad SAW yang telah menghalalkan atau mengharamkannya. Menurut qiyas, pekerjaan itu halal.
Telah meriwayatkan Abu Bakar akan perkataan Shabbagi dia berkata, ahli ra'yu pernah bersumpah, bahwa sesungguhnya Abdul Hakim sendiri telah berdusta terhadap Syafi'i dalam hal ini. Karena Syafi'i sendiri telah memberikan keterangan yang bernash dalam hal ini dalam segala kitabnya berjumlah enam buah kitab, yang mengharamkan pekerjaan ini.[3]
Syafi'i telah meriwayatkan dalam kitab Al-Umm dan Ibnu Abi Hatim, Ahmad, Nasa'i, Ibnu Majah, Ibnu Munzir dan Baihaqi melalui Khuzaimah bin Tsabit, dia berkata, seorang telah bertanya kepada Rasulallah SAW tentang mendatangi perempauan dari duburnya. Nabi menjawab, halal, tidak apa. Sewaktu laki-laki itu berpaling akan pergi, rasul memanggilnya kembali dan berkata, apa yang engkau maksudkan tadi, apakah dari belakang kekubulnya, maka itu boleh, atau dari belakang ke duburnya, maka itu tidak benar. Maka jangan kamu datangi perempaun itu pada duburnya.
Dari hadist ibnu abbas nabi saw bersabda:
لاَ يَنْظُرُ اللهُ اِلَى رَجُلِ اَتَى امْرَاَتَهُ فِى الدُّبُرِ
Artinya:
Allah tidak memendang kepada laki-laki yang mendatangi perempaunnya pada duburnya.[4]
Selanjutnya hadits umar, nabi Muhammad saw bersabda:
فِى الَّذِى يَاْتِى امْرَاَتَهُ فِى الدُّبُرِهَا هِيَ الُّلوْطِيَّةُ الصُّغْرَى

Artinya:
Orang yang mendatangi perempuannya pada duburnya adalah liwath kecil.[5]
Hadits dari abu hurairah berkata, rasulallah saw bersabda
مَلْعُوْنٌ مَنْ اَتَى امْرَاَتَهُ فِى الدُّبُرِهَا
Artinya:
Terkutuklah orang yang mendatangi perempuan pada duburnya.[6]

B.                 AL-QUR'AN SURAT AN-NISA' AYAT 19
$ygƒr'¯»tƒ z`ƒÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw @Ïts öNä3s9 br& (#qèO̍s? uä!$|¡ÏiY9$# $\döx. ( Ÿwur £`èdqè=àÒ÷ès? (#qç7ydõtGÏ9 ÇÙ÷èt7Î/ !$tB £`èdqßJçF÷s?#uä HwÎ) br& tûüÏ?ù'tƒ 7pt±Ås»xÿÎ/ 7poYÉit6B 4
Artinya
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang Telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. (QS an-nisa 19)
Untuk mendekatkan pemahaman mengenai maksud ayat lebih baik kita ketahui lebih dahulu sebab turunya. Dengan mengenal sebab itu kita dapat mengetahui maksud ayat yang sebenarnya
Telah meriwayatkan Al-Bukhari dari Ibnu Abbas, dia berkata, adalah kebiasaan mereka itu, apabila seorang laki-laki mati, maka wali-walinya lebih berhak kepada perempuannya. Kalau mereka suka dikawinkannya perempuan itu, jika mereka suka dikawinkannya perempuan itu deangn orang lain, dan jika mereka suka, dihalanginnya peremapuan itu kawin dengan orang lain. Mereka lebih berhak atas diri perempuan itu daripada perempaun itu sendiri, maka turunlah ayat tersebut.
Ibnu Jarir dan Ibnu Hatim telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas dia berkata, adalah seorang laki-laki apabila dia mati dan meningggalkan perempuan, maka family suaminya melemparkan sehelai kain kepada perempuan itu. Hal itu berarti, bahwa perempuan itu tidak boleh kawin dengan orang lain lagi. Jika perempuan itu cantik, dikawininya, dan kalau perempuan itu buruk, ditahannya sehingga mati, baru diwarisinya harta perempuan itu. Berdasarkan peristiwa ini turunlah ayat di atas.
Berkata Zuhri dan Abu Mijlaz adalah salah satu dari adat kebiasaan mereka, apabila seorang mati dan meningggalkan istri, lalu anaknya yang berlainan ibu atau kerebatnya yang paling dekat, melemparkan kainnya kepada perempuan itu maka jadlah dia yang berhak atas perempuan itu daripada perempuan itu sendiri, begitu juga dari pihak wali-wali perempuan itu.
Kalau dia suka dikawininya perempuan itu dengan tida membayar mahar lagi. Hanya dicukupkan saja mahar yang telah diberikan orang tuanya dulu. Jika dia suka dikawinkan dengan orang lain dan diambilnya mahar perempuan itu dan tidak diberikannya perempuan itu kawin dengan orang lain, dengan maksud supaya perempuan itu menebus dengan menyerahkan pusaka yang diperoleh dari suaminya yang telah meninggal itu, atau malah perempuan itu mati, maka dia menerima pusaka perempuan itu berdasarkan peristiwa ini turunlah ayat diatas.
Hasan berkata apabila seorang perempuan berzina, maka dia di beri dera seratus kali dan diasingkan, kemudian dikembalikan kepada suaminya (suami yang belum campur dengan dia) segala apa yang telah diserahkan kepada perempuan itu, abu qilabah berkata, jika seorang istri berzina, maka tidak ada apa-apa kalau suaminya itu member mudarat kepada istrinya dan menyakiti sehingga perempuan itu menebus talaknya, suddi juga memberi komentarnya, apabila mereka teah berbuat yang demikian, maka kamu ambilah kembali mahar yang sudah kamu berikan kepada mereka.
Berkata ulama, fahisyah ialah perkataan yang kotor dan kasar atau mempunyai pergaulan yang buruk (bukan zina) menurut malik halal bagi seseorang mengambil dari perempuan nusyuz sekalian harta yang dimiliki perempuan itu.
Dengan keterangan ini, maka khitab dalam ayat ini ditujukan kepada suami.
Jika kita perhatikan akan sebab turunnya ayat ini yaitu ditujukan kepada pihak wali, untuk memahamkan ayat "tidak halal bagimu (wahai wali) menghalangi mereka dengan bermaksud hendak mengambil sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka" maka yang memberikan itu bukanlah wal melainkan suami. Begitu pula tidak boleh wali menahan perempuan yang melakukan perbuatan mesum bermaksud akan kawin, karena kawin itu dia tepelihara dari zina.
 Kalau ayat ini kita tujukan kepada suami, juga amat berat menafsirkannya, karena ayat ini turun pada wali yang melarang dan menghalangi perkawinan perempuan yang berada dalam kekuasaannya. Sebab itu yang terutama sekali ayat ini ditujukan kepada sekalian orang mukmin. Maka tidaklah halal bagimu wahai kaum mukminin menghalangi istri-istrimu, kamu tahan-tahan mereka, kamu mnenahan-nahan  itu hanya dengan maksud supaya mereka membayar kembali kerugian yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali jika mereka telah nyata melakukan perbuatan mesum, perbuatan keji.
£`èdrçŽÅ°$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/ 4 bÎ*sù £`èdqßJçF÷d̍x. #Ó|¤yèsù br& (#qèdtõ3s? $\«øx© Ÿ@yèøgsur ª!$# ÏmŠÏù #ZŽöyz #ZŽÏWŸ2 
Artinya
Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS an-nisa 19)
Ayat ini memberikan hak-hak perempuan yang menjadi tanggungan suami, yaitu hendaklah suami mempergauli mereka dengan cara baik. Pengertian makruf ialah menunaikan hak-hak istrinya, seperti memberinya mahar, memberikannya nafkah dengan sepantasnya, memperlakukan dengan adil jika si suami melakukan poligami, dan jangan dia menunjukkan yang tidak manis di hadapan istrinya dalam ayat "maka peganglah dengan baik atau lepaskan dengan baik".[7]
Jika terjadi suatu hal  yang tidak menyenagkan hatinya terhadap istrinya, hendaklah istrinya itu dipegang terus, jangan buru-buru diceraikannya, karena cerai tanpa alas an yang dapat diterima, amat dicela sekali oelh syari'at. Rasulallah bersabda, "kawinlah perempuan itu dan jangan kamu talah! Karena allah tidak suka kepada laki-laki yang hanya memperoleh kenikmatan dari perempuan kemudian menceraikannya.



KESIMPULAN
Telah sepakat sebagian ulama, sahabat, tabiin imam-imam dan sekalian fuqaha menerangkan bahwa mendatangi perempuan pada duburnya adalah haram dan dinamakan liwath.
Allah memberikan hak-hak perempuan yang menjadi tanggungan suami, yaitu hendaklah suami mempergauli mereka dengan cara baik.

















DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir Al Ahkam, Kencana, Jakarta, Th 2006, Hal 94.
Wakaf  Dari Pelayan Dua Tanah Suci Raja Fahd Bin Abdul Aziz Al Su'ud, Al-Qur'an Dan Terjemahannya, Mujma' Malik Fahd, Saudi Arabia, Th 1418 H, Hal 45









[1] Wakaf  Dari Pelayan Dua Tanah Suci Raja Fahd Bin Abdul Aziz Al Su'ud, Al-Qur'an Dan

 Terjemahannya, Mujma' Malik Fahd, Saudi Arabia, Th 1418 H, Hal 45

[2] Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir Al Ahkam, Kencana, Jakarta, Th 2006, Hal 94.

[3] Abdul Halim Hasan Binjai, Op, Cit Hal 95.
[4] Riwayat Ibnu Abi Syaibah, Tirmidzi, Nasa'i Dan Ibnu Hibban
[5] Riwayat Ahmad Dan Baihaqi
[6] Riwayat Ahmad, Abu Daud Dan Nasa'i.
[7] Abdul Halim Hasan Binjai, Op, Cit Hal 227

PERGAULAN SUAMI ISTRI


A.                AL-QUR'AN SURAT AL-BAQARAH AYAT 223

 öNä.ät!$|¡ÎS Ó^öym öNä3©9 (#qè?ù'sù öNä3rOöym 4¯Tr& ÷Läê÷¥Ï© ( (#qãBÏds%ur ö/ä3Å¡àÿRL{ 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur Nà6¯Rr& çnqà)»n=B 3 ̍Ïe±o0ur šúüÏZÏB÷sßJø9$#
Artinya
Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman. (QS Al-baqarah 223)[1]
Kata harsa ^öym berarti kebun ladang tempat bertanam. Perempuan itu diumpamakan seperti kebun tempat menanam keturunan. Sebab itu kata "harsa" hanya tertentu kepada faraj perempuan, karena disanalah tempat menanam keturunan itu. Dalam hal ini Allah memerintahkan supaya kamu mendatangai tempat itu betapa kamu sukai dan betapa kamu kehendaki dengan cara bagaimana saja. Apakah dari muka, dari belakang, terlentang dan sebagainya, menurut keinginan nafsumu. Perkataan "anna" dalam syair ayat ini lebih luas artinya dari pada "aina" (kemana-dimana) "kaifa" (bagaimana) dan  "mata" (apabila). Sibawaihi seorang ahli bahasa yang terkenal mengartikan "anna" itu dengan makna betapa atau bagaimana saja.[2]
Sesungguhnya telah sepakat sebagian ulama, sahabat, tabiin imam-imam dan sekalian fuqaha menerangkan bahwa mendatangi perempuan pada duburnya adalah haram dan dinamakan liwath.
Telah meriwayatkan Al-Qurthubi dalam tafsirnya, bahwa menurut yang telah diriwayatkan dari Said bin Musyayyab, Ibnu Umar, Muhammad Ka'ab Quruzi, dan Abd Malik Majisun, boleh yang demikian itu berarti boleh meliwath istrinya. Ibnu Arabi menyatakan bahwa Ibnu Sya'ban telah menyandarkan pendapatnya kepada orang-orang yang membolehkan pekerjaan demikian kepada segolongan besar dan tabiin, begitu juga demikian juga dengan riwayat yang da'if, bahwa hakim, Daruqhutni dan khatib Baghdadi telah meriwayatkan dari malik yang mengatakan bolehnya, berkata abu bakar, menurut riwayat yang masyhur dari Malik, membolehkan yang demikian.
Akan tetapi sekalian sahabatnya telah menolak semua keterangan itu; karena mereka tidak merasa yakin, bahwa malik akan membolehkan pekerjaan yang demikian mesum dan keji. Telah meriwayatkan Thahawi dari Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakim, bahwa dia mendengar Syafi'i berkata, tidak ada didapat satu riwayat yang shahih dari nabi Muhammad SAW yang telah menghalalkan atau mengharamkannya. Menurut qiyas, pekerjaan itu halal.
Telah meriwayatkan Abu Bakar akan perkataan Shabbagi dia berkata, ahli ra'yu pernah bersumpah, bahwa sesungguhnya Abdul Hakim sendiri telah berdusta terhadap Syafi'i dalam hal ini. Karena Syafi'i sendiri telah memberikan keterangan yang bernash dalam hal ini dalam segala kitabnya berjumlah enam buah kitab, yang mengharamkan pekerjaan ini.[3]
Syafi'i telah meriwayatkan dalam kitab Al-Umm dan Ibnu Abi Hatim, Ahmad, Nasa'i, Ibnu Majah, Ibnu Munzir dan Baihaqi melalui Khuzaimah bin Tsabit, dia berkata, seorang telah bertanya kepada Rasulallah SAW tentang mendatangi perempauan dari duburnya. Nabi menjawab, halal, tidak apa. Sewaktu laki-laki itu berpaling akan pergi, rasul memanggilnya kembali dan berkata, apa yang engkau maksudkan tadi, apakah dari belakang kekubulnya, maka itu boleh, atau dari belakang ke duburnya, maka itu tidak benar. Maka jangan kamu datangi perempaun itu pada duburnya.
Dari hadist ibnu abbas nabi saw bersabda:
لاَ يَنْظُرُ اللهُ اِلَى رَجُلِ اَتَى امْرَاَتَهُ فِى الدُّبُرِ
Artinya:
Allah tidak memendang kepada laki-laki yang mendatangi perempaunnya pada duburnya.[4]
Selanjutnya hadits umar, nabi Muhammad saw bersabda:
فِى الَّذِى يَاْتِى امْرَاَتَهُ فِى الدُّبُرِهَا هِيَ الُّلوْطِيَّةُ الصُّغْرَى

Artinya:
Orang yang mendatangi perempuannya pada duburnya adalah liwath kecil.[5]
Hadits dari abu hurairah berkata, rasulallah saw bersabda
مَلْعُوْنٌ مَنْ اَتَى امْرَاَتَهُ فِى الدُّبُرِهَا
Artinya:
Terkutuklah orang yang mendatangi perempuan pada duburnya.[6]

B.                 AL-QUR'AN SURAT AN-NISA' AYAT 19
$ygƒr'¯»tƒ z`ƒÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw @Ïts öNä3s9 br& (#qèO̍s? uä!$|¡ÏiY9$# $\döx. ( Ÿwur £`èdqè=àÒ÷ès? (#qç7ydõtGÏ9 ÇÙ÷èt7Î/ !$tB £`èdqßJçF÷s?#uä HwÎ) br& tûüÏ?ù'tƒ 7pt±Ås»xÿÎ/ 7poYÉit6B 4
Artinya
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang Telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. (QS an-nisa 19)
Untuk mendekatkan pemahaman mengenai maksud ayat lebih baik kita ketahui lebih dahulu sebab turunya. Dengan mengenal sebab itu kita dapat mengetahui maksud ayat yang sebenarnya
Telah meriwayatkan Al-Bukhari dari Ibnu Abbas, dia berkata, adalah kebiasaan mereka itu, apabila seorang laki-laki mati, maka wali-walinya lebih berhak kepada perempuannya. Kalau mereka suka dikawinkannya perempuan itu, jika mereka suka dikawinkannya perempuan itu deangn orang lain, dan jika mereka suka, dihalanginnya peremapuan itu kawin dengan orang lain. Mereka lebih berhak atas diri perempuan itu daripada perempaun itu sendiri, maka turunlah ayat tersebut.
Ibnu Jarir dan Ibnu Hatim telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas dia berkata, adalah seorang laki-laki apabila dia mati dan meningggalkan perempuan, maka family suaminya melemparkan sehelai kain kepada perempuan itu. Hal itu berarti, bahwa perempuan itu tidak boleh kawin dengan orang lain lagi. Jika perempuan itu cantik, dikawininya, dan kalau perempuan itu buruk, ditahannya sehingga mati, baru diwarisinya harta perempuan itu. Berdasarkan peristiwa ini turunlah ayat di atas.
Berkata Zuhri dan Abu Mijlaz adalah salah satu dari adat kebiasaan mereka, apabila seorang mati dan meningggalkan istri, lalu anaknya yang berlainan ibu atau kerebatnya yang paling dekat, melemparkan kainnya kepada perempuan itu maka jadlah dia yang berhak atas perempuan itu daripada perempuan itu sendiri, begitu juga dari pihak wali-wali perempuan itu.
Kalau dia suka dikawininya perempuan itu dengan tida membayar mahar lagi. Hanya dicukupkan saja mahar yang telah diberikan orang tuanya dulu. Jika dia suka dikawinkan dengan orang lain dan diambilnya mahar perempuan itu dan tidak diberikannya perempuan itu kawin dengan orang lain, dengan maksud supaya perempuan itu menebus dengan menyerahkan pusaka yang diperoleh dari suaminya yang telah meninggal itu, atau malah perempuan itu mati, maka dia menerima pusaka perempuan itu berdasarkan peristiwa ini turunlah ayat diatas.
Hasan berkata apabila seorang perempuan berzina, maka dia di beri dera seratus kali dan diasingkan, kemudian dikembalikan kepada suaminya (suami yang belum campur dengan dia) segala apa yang telah diserahkan kepada perempuan itu, abu qilabah berkata, jika seorang istri berzina, maka tidak ada apa-apa kalau suaminya itu member mudarat kepada istrinya dan menyakiti sehingga perempuan itu menebus talaknya, suddi juga memberi komentarnya, apabila mereka teah berbuat yang demikian, maka kamu ambilah kembali mahar yang sudah kamu berikan kepada mereka.
Berkata ulama, fahisyah ialah perkataan yang kotor dan kasar atau mempunyai pergaulan yang buruk (bukan zina) menurut malik halal bagi seseorang mengambil dari perempuan nusyuz sekalian harta yang dimiliki perempuan itu.
Dengan keterangan ini, maka khitab dalam ayat ini ditujukan kepada suami.
Jika kita perhatikan akan sebab turunnya ayat ini yaitu ditujukan kepada pihak wali, untuk memahamkan ayat "tidak halal bagimu (wahai wali) menghalangi mereka dengan bermaksud hendak mengambil sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka" maka yang memberikan itu bukanlah wal melainkan suami. Begitu pula tidak boleh wali menahan perempuan yang melakukan perbuatan mesum bermaksud akan kawin, karena kawin itu dia tepelihara dari zina.
 Kalau ayat ini kita tujukan kepada suami, juga amat berat menafsirkannya, karena ayat ini turun pada wali yang melarang dan menghalangi perkawinan perempuan yang berada dalam kekuasaannya. Sebab itu yang terutama sekali ayat ini ditujukan kepada sekalian orang mukmin. Maka tidaklah halal bagimu wahai kaum mukminin menghalangi istri-istrimu, kamu tahan-tahan mereka, kamu mnenahan-nahan  itu hanya dengan maksud supaya mereka membayar kembali kerugian yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali jika mereka telah nyata melakukan perbuatan mesum, perbuatan keji.
£`èdrçŽÅ°$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/ 4 bÎ*sù £`èdqßJçF÷d̍x. #Ó|¤yèsù br& (#qèdtõ3s? $\«øx© Ÿ@yèøgsur ª!$# ÏmŠÏù #ZŽöyz #ZŽÏWŸ2 
Artinya
Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS an-nisa 19)
Ayat ini memberikan hak-hak perempuan yang menjadi tanggungan suami, yaitu hendaklah suami mempergauli mereka dengan cara baik. Pengertian makruf ialah menunaikan hak-hak istrinya, seperti memberinya mahar, memberikannya nafkah dengan sepantasnya, memperlakukan dengan adil jika si suami melakukan poligami, dan jangan dia menunjukkan yang tidak manis di hadapan istrinya dalam ayat "maka peganglah dengan baik atau lepaskan dengan baik".[7]
Jika terjadi suatu hal  yang tidak menyenagkan hatinya terhadap istrinya, hendaklah istrinya itu dipegang terus, jangan buru-buru diceraikannya, karena cerai tanpa alas an yang dapat diterima, amat dicela sekali oelh syari'at. Rasulallah bersabda, "kawinlah perempuan itu dan jangan kamu talah! Karena allah tidak suka kepada laki-laki yang hanya memperoleh kenikmatan dari perempuan kemudian menceraikannya.



KESIMPULAN
Telah sepakat sebagian ulama, sahabat, tabiin imam-imam dan sekalian fuqaha menerangkan bahwa mendatangi perempuan pada duburnya adalah haram dan dinamakan liwath.
Allah memberikan hak-hak perempuan yang menjadi tanggungan suami, yaitu hendaklah suami mempergauli mereka dengan cara baik.

















DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir Al Ahkam, Kencana, Jakarta, Th 2006, Hal 94.
Wakaf  Dari Pelayan Dua Tanah Suci Raja Fahd Bin Abdul Aziz Al Su'ud, Al-Qur'an Dan Terjemahannya, Mujma' Malik Fahd, Saudi Arabia, Th 1418 H, Hal 45









[1] Wakaf  Dari Pelayan Dua Tanah Suci Raja Fahd Bin Abdul Aziz Al Su'ud, Al-Qur'an Dan

 Terjemahannya, Mujma' Malik Fahd, Saudi Arabia, Th 1418 H, Hal 45

[2] Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir Al Ahkam, Kencana, Jakarta, Th 2006, Hal 94.

[3] Abdul Halim Hasan Binjai, Op, Cit Hal 95.
[4] Riwayat Ibnu Abi Syaibah, Tirmidzi, Nasa'i Dan Ibnu Hibban
[5] Riwayat Ahmad Dan Baihaqi
[6] Riwayat Ahmad, Abu Daud Dan Nasa'i.
[7] Abdul Halim Hasan Binjai, Op, Cit Hal 227